MENGAMATI PORNOGRAFI DAN KEKERASAN DALAM FILM DI INDONESIA

Pengertian Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Yang pertama, film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Yang kedua, film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup. Dalam konteks khusus, film diartikan sebagai lakon hidup atau gambar gerak yang biasanya juga disimpan dalam media seluloid tipis dalam bentuk gambar negatif. Meskipun kini film bukan hanya dapat disimpan dalam media selaput seluloid saja. Film dapat juga disimpan dan diputar kembali dalam media digital.





Perkembangan Perfilman Indonesia
Film pertama kali masuk ke Indonesia pada  tahun 1900 di Batavia (Jakarta). Film pertama yang diputar yaitu film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag, Belanda. Baru pada tahun 1926, Indonesia membuat film pertamanya yang berjudul Loetoeng Kasaroeng yang diproduksi oleh NY Java Company. Kini, seabad sudah Indonesia mengenal film. Ratusan  ribu judul film telah diproduksi oleh perusahaan pembuat film professional di Indonesia.
Dalam perkembangannya, film Indonesia mengalami awal kebangkitannya pada era 1970-an. Tercatat 604 judul film berhasil diproduksi dan diedarkan di Indonesia. Beberapa judul film seperti “Ali Topan Anak Jalanan” dan “Romi dan Yuli”, menjadi film yang paling populer saat itu. Tema percintaan dan kehidulan metropolitan sangat sering diangkat pada waktu itu. Memasuki era 1980-an, insan perfilman Indonesia memproduksi lebih banyak judul film. Di masa ini, bisa dikatakan sebagai era keemasan perfilman di Indonesia. Tercatat 721 judul film beredar di seluruh Indonesia. Di masa ini, tema film mulai berfariatif, tidak hanya drama percintaan, melainkan film action, komedi musik, dan bahkan dokumenter, menjadi tema yang mulai diminati masyarakat Indonesia di era tersebut. Film yang diperankan Warkop misalnya, menjadi salah satu sajian segar komedi pertama kalinya di ranah perfilman Indonesia. Ada juga film dokumenter berjudul “Penghianatan G30S PKI” yang sempat populer dan hingga kini masih diperdebatkan kebenarannya.



Selain mengalami masa keemasan, perfilman Indonesia juga pemngalami masa keterpurukan. Pada tahun 1990-an, hanya sedikit judul film yang beredar. Hal tersebut dikarenakan mulai maraknya sinetron yang ditayangkan di televisi swasta Indonesia. Selain itu, masuknya film-film Hollywood (Amerika) dan dibukanya bioskop 21, semakin memperburuk kondisi perfilman lokal tanah air pada saat itu. Adapun film-film lokal yang beredar, merupakan film-film vulgar yang bisa dikatakan tidak berkualitas. Karena banyak dari film-film tersebut yang hanya mengeksploitasi sisi erotis dari actor dan aktrisnya. Beberapa judul film seperti “Nahkota Merah Perkawinan”, “Misteri Janda Kembang” dan “Gairah Terlarang” merupakan film-film vulgar yang beredar pada masa itu.
Di awal tahun 2000, perfilman Indonesia kembali bergairah. Diawali dengan film “Petualangan Sherina” buatan Riri Reza yang mampu menggebrak dan fenomenal hingga saat ini. Di tengah terpuruknya perfilman Indonesia, “Petualangan Sherina” mampu menjadi icon kebangkitan perfilman Indonesia hingga saat ini. Dilanjutkan dengan film “Ada Apa Dengan Cinta” yang disutradarai Rudi Soedjarwo yang juga booming pada tahun 2002. Jutaan Remaja Indonesia terpana dengan cerita romantis yang ditampilkan di film tersebut. Sejak saat itu Indonesia kembali dihujani film-film local berkualitas yang banyak diminati oleh masyarakat.
Hollywood yang merupakan produsen film terbesar di dunia asal Amerika, makin gencar membawa film-film ke Indonesia. Dimulai pada tahun 2005, tren film aksi dan kekerasan yang diangkat, laris manis dan diminati oleh sebagian masyarakat Indonesia. Bahkan kini tema kekerasan, peperangan, dan aksi perkelahian menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh peminatnya di Indonesia.
Sejak tahun 2011, Film Indonesia tidak hanya diminati di negeri sendiri, kini dunia Internasionalpun mulai melirik film-film produksi Indonesia. Sepeti misalnya film “The Raid”, film pemenang Toronto International Film Festival tersebut berhasil mempesona penonton seluruh dunia lewat cerita penyergapan polisi terhadap markas pengedar narkoba yang dibalut Material Art “Pencak Silat” khas Indonesia. “The Raid” berhasil menduduki top 15 chart box office di Amerika pada tahun 2012.

Saat ini perfilman Indonesia terus mangalami perkembangan. Banyaknya peluang pasar baik lokal maupun internasional, mampu menjadi motivasi lebih bagi para sineas Indonesia untuk terus memproduksi film berkualitas di masa yang akan datang.

Payung Hukum Perfilman Indonesia
Menurut Undang-Undang No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan bahwa pengertian film adalah:
  1. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman;
  2. bahwa film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi;
  3. bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;
  4. bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;
Adapun tujuan Film, diatur pula dalam Undang-undang No 33 Tahun 2009 Pasal 3, yaitu:
  1. terbinanya akhlak mulia;
  2. terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa;
  3. terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa;
  4. meningkatnya harkat dan martabat bangsa;
  5. berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa;
  6. dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional;
  7. meningkatnya kesejahteraan masyarakat; dan
  8. berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan.
Konflik Yang Terjadi Pada Perfilman Indonesia
Seperti yang telah diungkapkan sebelunya, negara telah mengatur perfilman nasional lewat undang-undang no 33 tahun 2009. Akan tetapi pada kenyataannya, masih banyak produsen film tanah air yang menyalahi atau bahkan mengabaikan undang-undang tersebut. Secara jelas tersirat bahwa tujuan film pada pasal (3) undang-undang  perfilman tahun 2009 tentang perfilman menyatakan, (a) Terbinanya akhlak mulia ; (b) Terbinanya kecerdasan bangsa ; (c) Terpeliharanya persatuan dan kesatuan, dll, mutlak dijadikan acuan bagi para produsen film tanah air.
Namun yang terjadi, kini perkembangan film Indonesia banyak yang menyimpang dari poin tersebut.  Maraknya film bertema vulgar seperti “Tali Pocong Perawan”(2012), “Hantu Budeg” (2012) dan “Kutukan Arwah Santet” secara tidak langsung  menentang undang-undang perfilman pasal (3), khususnya poin (a). Bagaimana film mampu membina akhlak mulia jika yang ditampilkan merupakan cerminan akhlak tidak bermoral. Hal ini mengingatkan kita kembali pada era 1990-an disaat perfilman Indonesia mengalami  keterpurukan dan kemerosotan akhlak. Mungkinkah para sineas tersebut ingin meraup untung dari besarnya jumlah penonton, ataukah hanya bertujuan merusak moral bangsa? Karena faktanya, film-film tersebut tidak pernah mampu mendapatkan jumlah penonton yang besar. Akan tetapi mengapa film bertemakan vulgar ini masih banyak diproduksi oleh para sineas di tanah air.
Adapula film “Romeo dan Juliet” karya sutradara Andibachtiar Yusuf. Film berceritakan percintaan remaja yang mengangkat perselisihan dua supporter bola ternama Indonesia itu sempat menjadi buah bibir sejak kemunculan perdananya tahun 2009. Film yang digarap duasatu film tersebut juga seolah bertentangan dengan tujuan film dalam undang-undang perfilman tahun 2009 pasal (3), khususnya poin (c) Terpeliharanya persatuan dankesatuan. Akibatnya, salah satu kelompok superter bola yang digambarkan dalam film tersebut, menolak penayangan film tersebut.
Selain banyaknya film nasional yang menyalahi peraturan perundang-undangan tersebut, tentu janganlah kita lupa akan serbuan film-film Hollywood di tanah air yang juga bertentangan dengan undang-undang perfilman Indonesia. Ratusan film masuk ke Indonesia lewat berbagai macam cara. Selain bioskop, DVD dan internetpun menjadi sasaran empuk gerbang masuknya film-film tersebut.  Semakin berkembangnya kemajuan teknologi informasi, maka semakin sulit untuk membendung peredaran film di Indonesia.
Dalam hal menyaring peredaran film di Indonesia, ngera telah membuat lembaga sensor film (LSF), yang bertujuan menentukan dapat/tidaknya sebuah film dipertunjukan atau ditayangkan kepada umum. Lembaga sensor film memiliki payung hukum yang menjadi landasan kebijakan LSF, yaitu adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata PM.31/UM.001/MKP/05 tentang Tata Kerja Lembaga Sensor dan Tata Laksana Penyensoran, dan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.46/OT.001/MKP/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Sensor Film. Pada pasal (3) Sesuai dengan dasar penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, perfilman Indonesia diarahkan kepada :
  1. pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa;
  2. pembangunan watak dan kepribadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia;
  3. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
  4. peningkatan kecerdasan bangsa;
  5. pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman;
  6. keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis usaha perfilman;
  7. terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan;
  8. penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dengan tetap berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata, asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan asas kepercayaan pada diri sendiri. Namun pada kenyataannya, maksud dan tujuan yang tertuang pada pasal (3) tersebut, seolah tidak dilaksanakan dengan baik oleh LSF. Kita masih sering menyaksikan film yang bertentangan dengan isi pasal tersebut.
  Sama halnya dengan adanya tayangan yang bersifat pornografi dalam film. Pemerintah juga sudah mengatur mengenai pornografi dalam rancangan undang-undang anti pornografi pada pasal (1), yang berbunyi, Pornografi adalah subtansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tentang seks dengan cara mengeksploitasi seks, kecabulan, dan/atau erotika. Media massa cetak adalah alat atau sarana penyampaian informasi dan pesan-pesan secara visual kepada masyarakat luas berupa barang-barang cetakan massal antara lain buku, suratkabar, majalah, dan tabloid. Media massa electronik adalah alat atau sarana Penyampaian informasi dan pesan-pesan secara audio dan/atau visual kepada masyarakat luas antara lain berupa radio, televisi, film, dan yang dipersamakan dengan film. Alat komunikasi medio adalah sarana penyampaian informasi dan pesan-pesan secara audio dan/atau visual kepada satu orang dan/atau seumlah orang tertentu antara lain berupa telepon, surat, pamflet, leaflet, booklet, selembaran, poster, dan media elektronik baru yang berbasis komputer seperti internet dan intranet. Iklan komersial adalah isi media yang mempromosikan sesuatu barang atau jasa dengan tujuan akhir mencari keuntungan finansial. Iklan layanan masyarakat adalah isi media yang mempromosikan sesuatu sebagai bentuk pemberian layanan kepada masyarakat. Barang pornografi adalah buku, suratkabar, majalah, tabloid dan media cetak sejenisnya, film, dan/atau yang dipersamakan dengan film, seperti video, video compact Disc, Digital Video Disc, Compact Disc, Personal Computer-Computer Disc Read Only Memory, dan kaset, yang materinya mengandung sifat pornografi. Namun, keberadaan rancangan undang-undang ini menuai banyak protes dari kalangan sineas di Indonesia. Tidak jelasnya batasan pornografi yang ditetapkan, dinilai membingungkan. Para sineas pun akhirnya menginterpretasikan masing-masing akan batasan yang dimaksud. Ada pula yang menyatakan bahwa rancangan undang-undang pornografi dinilai mengekang kreativitas seni oleh beberapa kalangan perfilman. Karena mereka menganggap, film merupakan sebuah karya seni yang dimana seni itu sendiri merupakan kebebasan dari ungkapan ekspresi para pelaku seni itu sendiri.

       Apapun konflik yang terjadi di dalam perfilman Indonesia, Saya menilai bahwa peran pemerintah maupun perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang perfilman nasional masih belum maksimal. Kurangnya hubungan harmonis antara pemerintah dan para pelaku seni khususnya film, seolah menjadi  tarik ulur antara kepentingan bisnis dengan kepentingan membangun moral bangsa. Kita sebagai penikmat film sudah sepatutnya mampu menilai dan memilih dengan bijak mana yang baik dan mana yang buruk pada setiap tayangan yang kita saksikan, khususnya film


Adrian Gahinsah
Bandung, 30 September 2013

adrian.gahinsah@blogspot.com
      

Comments

  1. salam indonesia ,sob. tulisannya menarik.punya daftar pustaka/buku2 mengenai yg tulisannya, kebetulan saya juga lg meneliti ttg seputar lsf dan peredaran film yg rancu sama undang2 regulasi lsf

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo tentang undang-undang film browsing aja bro..
      Klo buku tentang perkembangan film coba cek twitter @kineruku. Ada buku tentang perkembangan film Asia sama Indonesia.
      Klo saya itu dulu dari materi dosen di Kampus, disertai hasil pengamatan pribadi korelasinya dengan undang-undang.
      :)
      Semoga membantu....

      Delete

Post a Comment